Kandas #1

Asap mengepul keluar dengan cepat. Hembusan pertama malam ini terasa berat sekali. Seperti ada udara yang tertahan, ingin ku buang, namun tak bisa. Seperti ada yang menggenggam dadaku, sesak. Seperti ada sedikit rindu yang ingin kusampaikan. Namun entah mengapa, rindu itu masih saja tak beranjak pergi.

“Tenang, aku akan ceritakan semuanya. Kalian pasti akan banyak bicara kasar. Aku bisa terima.” Sebuah pembukaan dariku pada paguyuban malam ini. Kosan burung, kamar nomor 21, dimana aku dan teman-temanku sering mengadakan paguyuban. Biasanya, kami membahas keresahan-keresahan yang terjadi, yang sulit untuk ditanggung sendiri, atau sekedar meminta saran. Ya, kurang lebih ini adalah perkumpulan untuk saling curhat. Paguyuban malam ini dihadiri oleh aku, Otong, Bosang, Momok, Abah, dan Acong.

Otong menepuk pundakku, memandang mataku dalam, memasang mimik serius. Semua anggota paguyuban yang hadir memandang kami, tiba-tiba Otong bicara secara perlahan, “Goblok.” Seketika hening pecah menjadi tawa. Dia bahkan belum tahu keresahanku dan sudah berkata kasar. Kesal memang rasanya. Tapi itu adalah sifatnya, membuat satu orang merasa kesal, sedangkan yang lainnya merasa lucu dan tertawa. Dibarengi dengan mimik muka yang mendukung.

Mendung menutupi senja di stasiun kota. Menurunkan gerimis untuk mengisi celah-celah kosong di jalanan. Dila menatapku erat. Seperti memelukku dari kejauhan. Isarat bahwa ia tak ingin beranjak menuju kereta. Aku hanya diam menatap balik. Selama tiga hari kebersamaan kami telah meninggalkan kesan yang begitu dalam. Percaya atau tidak, aku belum pernah merasakan faktor x yang membuat sepasang manusia merasakan kebahagiaan dan kesedihan secara bersamaan. Saling memiliki tanpa memandang kelebihan dan kekurangan, baik atau buruk. Namun, kedatangan Dila ke Bandung telah merubah banyak hal dalam hidupku. Mendatangkan perasaan yang belum aku mengerti. Aku tidak tahu apakah ini yang mereka sebut dengan faktor x itu.

“Apa yang kamu ceritakan dan apa yang Dila ceritakan itu berada dalam satu jalur yang sama. Aku cuma pengen tahu perasaan kamu yang sebenernya ke Dila itu gimana?” Tanya Abah. Abah adalah sesepuh dalam bab ini. Dia adalah orang paling bijak bagi kalangan lelaki. Dan orang paling brengsek dikalangan perempuan. Banyak sekali perempuan yang menjadi korban keganasannya. Meski sebenarnya ia sedang berhubungan dengan seorang perempuan mungil selama delapan tahun. Belakangan aku tahu ternyata ia telah kandas dengan pasangannya.

Hari itu aku bangun jam dua dua belas siang. Namun dingin masih meraba sekujur tubuhku. Rasanya ingin kuteruskan saja bermimpi disiang bolong. Sampai magrib mungkin. Namun aku sudah janji untuk mengantar Dila ke stasiun. Aku berjalan kedapur berharap ada sedikit kehangatan dari secangkir kopi hitam. Disana ternyata Dila sedang memasak bersama ibuku. Lalu ia menghidangkan secangkir kopi diatas meja. Aku belum pernah melihat orang tuaku dekat dengan perempuan yang aku ajak ke rumah. Meski sebenarnya, Dila adalah perempuan pertama yang aku ajak ke rumah. Dila menginap selama satu malam dirumahku. Dia berasal dari luar kota. Sengaja datang ke Bandung untuk bertemu denganku. Makanan pun siap. Aku, Dila, dan kedua orang tuaku duduk dimeja makan.

“Sebelumnya bapak mau minta maaf sama kamu, Dila.” Pinta ayahku. Ia bicara dengan mulut terisi nasi, perkedel jagung, dan sedikit rasa penyesalan. Dila terlihat heran karena tidak mengerti apa yang dikatakan ayahku.

“Bapak udah buruk sangka sama kamu. Sebelumnya bapak bilang sama imam, hati-hati, kalau di Depok sedang marak aliran sesat.”

Dila tersentak menahan tawa. Aku pun sama.

“Ibu nitip Imam ya sama kamu. Tapi, kamu harus banyak sabar ya, soalnya Imam orangnya emang agak gimana gitu...” lanjut ibuku.

Dila kembali memasang muka heran. Aku hanya menunduk melanjutkan makan, tak peduli.

Hujan deras mulai mereda, menyisakan gerimis sampai magrib tiba. Aku dan Dila pergi ke kosan burung terlebih dahulu untuk berpamitan. Lalu Dila meminta untuk mengobrol dengan Abah sebentar. Aku pun meng-iya-kan. Sambil menunggu obrolan mereka selesai, aku duduk dikamar Otong.

“Gimana Mam?” Tanya Otong.

“Gimana? Bingung euy, nanti adain paguyuban lah, aku ceritain semuanya.”

Otong pun mengalihkan bahasan ke arah lain.

“Kamu main dota sama siapa?” tanyaku.

“Abah.”

“Open mic?”

“Heeuh.”

Setelah beberapa saat aku baru sadar kalau Otong masih aktif dan open mic dengan Abah. Sehingga apa yang di ceritakan kami berdua akan terdenar di speaker laptop Abah, begitupun sebaliknya. Lalu aku memasang headphone ditelingaku. Berharap dapat mendengar percakapan Abah dan Dila. Namun yang kudapati adalah isak tangis. Aku heran dan penasaran dengan apa yang terjadi. Lalu aku mengirim pesan kepada Abah lewat steam dota.

“Bah, awas, jangan di apa-apain.”

“Imam goblok.”

“Kamu yang goblok.”

“goblok.”

Percakapan kami hanya saling menggoblokan satu sama lain sampai akhir tanpa menjawab rasa penasaranku. Belakangan aku diberitahu kalau Dila yang membalas pesanku itu.

Setelah selesai bicara dengan Abah Dila mengajakku untuk segera pergi ke stasiun agar tidak ketinggalan kereta. Kamipun pergi dan berpamitan.

Sesampainya di stasiun pikiranku masih dipenuhi oleh rasa penasaran. Apa yang sebenarnya terjadi. Namun tatapan Dila seolah bilang kalau semuanya baik-baik saja. Saat kereta hendak berangkat, aku hanya diam terpaku menatap mata Dila dengan perasaan yang bercampur, namun aku tidak tahu perasaan apa saja yang ada disana.


bersambung....
Share:

Semut Meninggalkan Koloni

Jika sembilan dari sepuluh orang memilih shampo pantene. Aku adalah orang kesepuluh yang tidak memilih shampo pantene. Jika sembilan dari sepuluh orang memilih menjadi pahlawan. Aku adalah orang kesepuluh yang menjadi penjahat. Jika sembilan dari sepuluh orang menjawab “Benar”. Aku adalah orang kesepuluh yang berteriak “Salah”. Jika sembilan dari sepuluh orang memilih terbang. Aku adalah orang kesepuluh yang memilih berlari. Menjadi orang yang berbeda dan memisahkan diri meskipun itu salah. Namun apa salahnya?

Hanya ada dua kemungkinan untuk orang sepertiku. Jika diukur dengan nilai, aku hanya akan mendapat nilai nol atau seratus dua puluh. Menjadi orang paling rendah dan terpuruk sendiri, atau menjadi satu-satunya orang yang akan dilihat.

Seekor serigala penyendiri yang meninggalkan kelompoknya. Berpetualang di belantara liar dan mencari mangsa dalam kesendirian. Penuh dengan keangkuhan dan kesombongan yang menjadi jurang pemisah antara dirinya dan kelompoknya. Aku tidak. Aku bukan seekor serigala penyendiri. Aku hanya seekor semut yang meninggalkan koloninya. Yang tak pernah dilihat karena tak pernah berkerumun. Yang melangkah tidak pada garis yang telah ditentukan. Yang tak pernah saling sapa kala bersua. Tak ada jurang yang memisahkan aku dengan kelompokku. Hanya tembok, tembok yang tipis. Yang membuat aku tetap sendiri meski dalam kerumunan. Semut lain menganggapku aneh. Berjalan semaunya. Tidak jelas kemana arah dan tujuannya. Namun tak ada semut yang tak pernah bekerja keras. Begitupun aku. Hanya saja. Aku punya cara sendiri untuk mencari makan diantara daun-daun selangit, hamparan tembok, atau sela-sela pepohonan.

Dan seperti dalam hidup ini. Ketika orang-orang menggantungkan mimpinya setinggi bintang-bintang malam. Mereka berusaha untuk meraih mimpi-mimpi itu. Berusaha terbang. Aku menggantungkan mimpiku diujung jalan. Yang hanya terlihat saat pagi tiba. Aku berlari sekencang-kencangnya menjemput pagiku sendiri.
Share: