Asap
mengepul keluar dengan cepat. Hembusan pertama malam ini terasa berat sekali. Seperti
ada udara yang tertahan, ingin ku buang, namun tak bisa. Seperti ada yang
menggenggam dadaku, sesak. Seperti ada sedikit rindu yang ingin kusampaikan. Namun
entah mengapa, rindu itu masih saja tak beranjak pergi.
“Tenang,
aku akan ceritakan semuanya. Kalian pasti akan banyak bicara kasar. Aku bisa
terima.” Sebuah pembukaan dariku pada paguyuban malam ini. Kosan burung, kamar
nomor 21, dimana aku dan teman-temanku sering mengadakan paguyuban. Biasanya,
kami membahas keresahan-keresahan yang terjadi, yang sulit untuk ditanggung
sendiri, atau sekedar meminta saran. Ya, kurang lebih ini adalah perkumpulan
untuk saling curhat. Paguyuban malam ini dihadiri oleh aku, Otong, Bosang,
Momok, Abah, dan Acong.
Otong
menepuk pundakku, memandang mataku dalam, memasang mimik serius. Semua anggota
paguyuban yang hadir memandang kami, tiba-tiba Otong bicara secara
perlahan, “Goblok.” Seketika hening pecah menjadi tawa. Dia bahkan belum tahu
keresahanku dan sudah berkata kasar. Kesal memang rasanya. Tapi itu adalah
sifatnya, membuat satu orang merasa kesal, sedangkan yang lainnya merasa lucu
dan tertawa. Dibarengi dengan mimik muka yang mendukung.
Mendung
menutupi senja di stasiun kota. Menurunkan gerimis untuk mengisi celah-celah
kosong di jalanan. Dila menatapku erat. Seperti memelukku dari kejauhan. Isarat
bahwa ia tak ingin beranjak menuju kereta. Aku hanya diam menatap balik. Selama tiga
hari kebersamaan kami telah meninggalkan kesan yang begitu dalam. Percaya atau
tidak, aku belum pernah merasakan faktor x yang membuat sepasang manusia
merasakan kebahagiaan dan kesedihan secara bersamaan. Saling memiliki tanpa
memandang kelebihan dan kekurangan, baik atau buruk. Namun, kedatangan Dila ke
Bandung telah merubah banyak hal dalam hidupku. Mendatangkan perasaan yang
belum aku mengerti. Aku tidak tahu apakah ini yang mereka sebut dengan faktor
x itu.
“Apa
yang kamu ceritakan dan apa yang Dila ceritakan itu berada dalam satu jalur
yang sama. Aku cuma pengen tahu perasaan kamu yang sebenernya ke Dila itu
gimana?” Tanya Abah. Abah adalah sesepuh dalam bab ini. Dia adalah orang paling
bijak bagi kalangan lelaki. Dan orang paling brengsek dikalangan perempuan. Banyak
sekali perempuan yang menjadi korban keganasannya. Meski sebenarnya ia sedang berhubungan dengan seorang perempuan mungil selama delapan tahun. Belakangan aku tahu ternyata ia telah kandas dengan pasangannya.
Hari
itu aku bangun jam dua dua belas siang. Namun dingin masih meraba sekujur
tubuhku. Rasanya ingin kuteruskan saja bermimpi disiang bolong. Sampai magrib
mungkin. Namun aku sudah janji untuk mengantar Dila ke stasiun. Aku berjalan
kedapur berharap ada sedikit kehangatan dari secangkir kopi hitam. Disana ternyata
Dila sedang memasak bersama ibuku. Lalu ia menghidangkan secangkir kopi diatas
meja. Aku belum pernah melihat orang tuaku dekat dengan perempuan yang aku ajak
ke rumah. Meski sebenarnya, Dila adalah perempuan pertama yang aku ajak ke
rumah. Dila menginap selama satu malam dirumahku. Dia berasal dari luar kota.
Sengaja datang ke Bandung untuk bertemu denganku. Makanan pun siap. Aku, Dila,
dan kedua orang tuaku duduk dimeja makan.
“Sebelumnya
bapak mau minta maaf sama kamu, Dila.” Pinta ayahku. Ia bicara dengan mulut
terisi nasi, perkedel jagung, dan sedikit rasa penyesalan. Dila terlihat heran
karena tidak mengerti apa yang dikatakan ayahku.
“Bapak
udah buruk sangka sama kamu. Sebelumnya bapak bilang sama imam, hati-hati,
kalau di Depok sedang marak aliran sesat.”
Dila
tersentak menahan tawa. Aku pun sama.
“Ibu
nitip Imam ya sama kamu. Tapi, kamu harus banyak sabar ya, soalnya Imam
orangnya emang agak gimana gitu...” lanjut ibuku.
Dila
kembali memasang muka heran. Aku hanya menunduk melanjutkan makan, tak peduli.
Hujan
deras mulai mereda, menyisakan gerimis sampai magrib tiba. Aku dan Dila pergi
ke kosan burung terlebih dahulu untuk berpamitan. Lalu Dila meminta untuk
mengobrol dengan Abah sebentar. Aku pun meng-iya-kan. Sambil menunggu obrolan
mereka selesai, aku duduk dikamar Otong.
“Gimana
Mam?” Tanya Otong.
“Gimana?
Bingung euy, nanti adain paguyuban lah, aku ceritain semuanya.”
Otong
pun mengalihkan bahasan ke arah lain.
“Kamu
main dota sama siapa?” tanyaku.
“Abah.”
“Open
mic?”
“Heeuh.”
Setelah
beberapa saat aku baru sadar kalau Otong masih aktif dan open mic dengan Abah. Sehingga
apa yang di ceritakan kami berdua akan terdenar di speaker laptop Abah,
begitupun sebaliknya. Lalu aku memasang headphone ditelingaku. Berharap dapat
mendengar percakapan Abah dan Dila. Namun yang kudapati adalah isak tangis. Aku
heran dan penasaran dengan apa yang terjadi. Lalu aku mengirim pesan kepada
Abah lewat steam dota.
“Bah,
awas, jangan di apa-apain.”
“Imam
goblok.”
“Kamu
yang goblok.”
“goblok.”
Percakapan
kami hanya saling menggoblokan satu sama lain sampai akhir tanpa menjawab rasa
penasaranku. Belakangan aku diberitahu kalau Dila yang membalas pesanku itu.
Setelah
selesai bicara dengan Abah Dila mengajakku untuk segera pergi ke stasiun agar
tidak ketinggalan kereta. Kamipun pergi dan berpamitan.
Sesampainya
di stasiun pikiranku masih dipenuhi oleh rasa penasaran. Apa yang sebenarnya
terjadi. Namun tatapan Dila seolah bilang kalau semuanya baik-baik saja. Saat kereta
hendak berangkat, aku hanya diam terpaku menatap mata Dila dengan perasaan yang
bercampur, namun aku tidak tahu perasaan apa saja yang ada disana.
bersambung....