Semut Meninggalkan Koloni

Jika sembilan dari sepuluh orang memilih shampo pantene. Aku adalah orang kesepuluh yang tidak memilih shampo pantene. Jika sembilan dari sepuluh orang memilih menjadi pahlawan. Aku adalah orang kesepuluh yang menjadi penjahat. Jika sembilan dari sepuluh orang menjawab “Benar”. Aku adalah orang kesepuluh yang berteriak “Salah”. Jika sembilan dari sepuluh orang memilih terbang. Aku adalah orang kesepuluh yang memilih berlari. Menjadi orang yang berbeda dan memisahkan diri meskipun itu salah. Namun apa salahnya?

Hanya ada dua kemungkinan untuk orang sepertiku. Jika diukur dengan nilai, aku hanya akan mendapat nilai nol atau seratus dua puluh. Menjadi orang paling rendah dan terpuruk sendiri, atau menjadi satu-satunya orang yang akan dilihat.

Seekor serigala penyendiri yang meninggalkan kelompoknya. Berpetualang di belantara liar dan mencari mangsa dalam kesendirian. Penuh dengan keangkuhan dan kesombongan yang menjadi jurang pemisah antara dirinya dan kelompoknya. Aku tidak. Aku bukan seekor serigala penyendiri. Aku hanya seekor semut yang meninggalkan koloninya. Yang tak pernah dilihat karena tak pernah berkerumun. Yang melangkah tidak pada garis yang telah ditentukan. Yang tak pernah saling sapa kala bersua. Tak ada jurang yang memisahkan aku dengan kelompokku. Hanya tembok, tembok yang tipis. Yang membuat aku tetap sendiri meski dalam kerumunan. Semut lain menganggapku aneh. Berjalan semaunya. Tidak jelas kemana arah dan tujuannya. Namun tak ada semut yang tak pernah bekerja keras. Begitupun aku. Hanya saja. Aku punya cara sendiri untuk mencari makan diantara daun-daun selangit, hamparan tembok, atau sela-sela pepohonan.

Dan seperti dalam hidup ini. Ketika orang-orang menggantungkan mimpinya setinggi bintang-bintang malam. Mereka berusaha untuk meraih mimpi-mimpi itu. Berusaha terbang. Aku menggantungkan mimpiku diujung jalan. Yang hanya terlihat saat pagi tiba. Aku berlari sekencang-kencangnya menjemput pagiku sendiri.
Share:

0 komentar:

Posting Komentar