Kandas #2

“Menurut aku, perasaan kamu ke Qory itu  cuma obsesi Mam. Aku juga pernah rasain hal itu soalnya. Dulu aku suka sama cewek, ngejar-ngejar dia sampai hatiku bener-bener remuk. Sampai aku sadar bahwa sebenernya yang aku suka selama itu teh bukan cewek yang aku kejar-kejar. Tapi ada cewek lain yang perhatian sama aku. Sekarang aku pengennya kembali kemasa itu dan gak ngulangin hal yang sama.” Jelas Acong.

Fakta mengatakan bahwa laki-laki akan merasa dirinya ganteng jika sedang melihat dirinya dibalik cermin. Betapa jelek pun lelaki itu. Aku pun sama. Merapikan sedikit bagian rambut dan pakaian. Lalu keluar dari toilet menuju kearah Dila yang sedang duduk memegang smartphoneku.

“Nih ada line dari Qory.”

Dila menyodorkan smartphone padaku. Kulihat pesan yang dikirim dari Qory dan langsung membalasnya. Dila hanya mengamatiku dengan raut kesal. Aku tidak peduli. Sepertinya Qory memang sedang dalam masalah sehingga membutuhkan seseorang untuk dijadikan sandarannya. Dan aku selalu bersedia untuk hadir disana. Aku sudah bilang kepada Dila bahwa selama ini aku sedang mengejar Qory, berharap fakto x akan datang padaku. Jujur bahwa aku tidak pernah mengerti masalah ini, bahkan teman-temanku selalu bilang kalau aku begitu bego karena tidak pernah peka pada perempuan.

“Kenapa sih kamu sibuk terus sama Qory?”

“Aku udah bilang kan alasannya sama kamu.”

“Mam, dengerin deh, aku mau nanya sesuatu sama kamu.”

“Mau nanya apa Dil?”

“Tapi kamu matiin dulu hp-nya.”

“Bentar..”

“Yaudah gak jadi nanya deh...”

“Nanya apa sih, tanya aja gapapa...”

“Kamu mau milih aku atau Qory?”

“Hah?”

“Iya milih aku atau Qory.”

“Ya aku milih kamu lah,”

“Kamu yang sekarang ada didepan mataku, jadi untuk saat ini aku milih kamu lah.”

“Yaudah matiin dulu dong hp-nya...”

“Tapi...”

Seketika Dila merebut smartphoneku. Nampaknya dia sangat kesal karena aku tidak memperhatikannya. Suasana disekitar kami berubah drastis. Dingin, bukan karena gerimis yang tak kunjung berhenti. Tapi karena sikap Dila yang tadinya hangat dan ramah, berubah menjadi masam. Canda tawa yang sedari tadi menghiasi meja kami seketika sirna. Obrolan kamipun tak berlangsung lama.

“Mending kita pulang aja deh.”

Aku pun meng-iya-kan dan kami langsung pulang ke rumahku. Sesaimpainya di rumah, Dila langsung menuju ke kamar adikku. Dan aku langsung ke kamarku di lantai dua. Malam semakin larut dan aku masih saja terjaga. Entah mengapa perasaanku tidak enak, mungkin karena kejadian di kafe tadi. Tiba-tiba smartphone ku berdering, kulihat sebuah pesan dari Dila.

“Mam, headset-ku masih di kamu ya.”

“Iya.”

“Anterin kesini dong.”

Aku bernjak dari kasurku. Melangkah ke kamar adikku yang ada di lantai bawah. Menyerahkan pesanan Dila. Mengobrol sebentar disana. Dila bilang bahwa aku dan Bandung adalah obat untuknya. Dan nilai tambahnya adalah teman-temanku. Mereka juga membawa angin segar untuknya. Kedatangan Dila ke Bandung adalah untuk mengobati hatinya yang tengah remuk dan runtuh. Karena seorang lelaki yang setahun terakhir dekat dengannya, sampai ke hubungan yang begitu intim_bukan berhubungan intim. Namun lelaki tersebut kini pergi entah kemana, terpental jauh saat badai tengan menerpa Dila. Tentang bagaimana kedua orang tuanya harus bercerai, tentang ibunya yang akhirnya jatuh sakit, tentang dia yang harus banting tulang untuk membiayai adik-adiknya. Aku bilang lelaki itu terlalu ringan sehingga mudah dilemparkan badai. Dila tertawa. Sepertinya keadaan kami kembali normal seperti biasa. Sebelum kedatangan Dila ke Bandung, aku menawarkan diri untuk menjadi kuli. Membangun kembali hati yang runtuh itu. Dan teman-temanku juga sekarang menjadi kuli. Dengan lebih banyak kuli tentu akan semakin cepat membangun bukan? Benar saja, Dila akhirnya tidak lagi memikirkan lelaki itu. Tapi sekarang, perasaannya telah baralih padaku. Membuatnya menjadi gelisah. Aku yang harusnya menjadi lelaki penghibur ternyata telah menambah masalah dalam hidupnya.

Dila menatapku dalam. Dia ingin meluruskan perasaan apa yang tumbuh diantara kami berdua. Dia memintaku untuk menciumnya. Aku menciumnya dipipi. Dila sedikit kesal. Maksudnya adalah menciumnya di bibir bukan di pipi. Aku tersentak, aku belum pernah mencium bibir orang lain. Aku hanya pernah mencium ubun-ubun Abah dan rambut gimbal Otong_karena begitu lebat sampai sulit untuk menyentuh ubun-ubunnya, itu pun dalam rangka bercanda. Dan sekarang aku diminta untuk mencium seorang perempuan. Dan ini dalam rangka serius. Jantungku langsung berteriak-teriak. Meminta pertolongan. Tanganku gemetar. Aku adalah tipe orang yang sulit untuk diajak serius. Jadi ada dua hal yang membuatku lemah malam ini. Mencium bibir perempuan, dan disuruh untuk serius. Dila menutup matanya. Berharap akan ada sentuhan di bibirnya. Aku memajukan mulutku. Tidak karuan. Bagaimana cara melakukannya? Bibir kami semakin dekat. Jantungku berteriak semakin keras. Kini darahku ikut-ikutan panas. Dila pun semakin gelisah. Lalu terdengar suara cekikikan. Dila membuka matanya. Didapatinya hidungku yang satu centimeter lagi menyentuh hidungnya. Dia melihatku tertawa lalu memalingkan muka. Mulutku benar-benar tidak diajak serius. Dila pun kesal. Kubilang nanti saja lagi kalau ada kesempatan lain, lalu pergi meninggalkan kamar.

Keesokan harinya baru aku menyesal karena tidak mencium Dila tadi malam. Mungkin itu adalah satu-satunya kesempatan untuk mencium seorang perempuan. Sial. Itu adalah sebuah kemubaziran. Aku beranjak dari kasurku dan pergi ke dapur. Berharap bahwa ada kehangatan disana saat hujan tengah deras-derasnya.

“Sekarang bagian kamu Tong!” Pinta Bosang.

Otong mengambil sebatang rokok. Menyalakan, menghisapnya perlahan. Lalu memnghembuskannya perlahan pula, mengarahkannya padaku. Aku kesal. Lalu Otong menarik napasnya dalam-dalam. Semua memperhatikan. Otong memiringkan kepalanya sambil melihat kearah langit-langit. Hening. Dua puluh detik dihabiskannya percuma dan membuat seisi ruangan tersebut kesal. Mahir sekali dia membuat orang lain kesal.

“Jadi...”

Kami memperhatikan dengan seksama. Otong kembali menghisap rokoknya perlahan. Lalu menghembuskannya perlahan.

“Anjing.” Kata Abah.

“Di alam dunia ini.” Peserta paguyuban semakin kesal karena bahasanya yang begitu tinggi. Disaat yang sama terasa lucu karena ekspresi seriusnya sambil menatap kearah langit tanpa memperdulikan keitarnya.

“Ada dua tipe manusia dalam bab ini. Pertama adalah orang yang mencari-cari. Dan kedua, adalah orang yang memberi. Kamu masuk kegolongan mana Mam?”

“Gimana maksudnya?” Tanyaku heran.

“Kamu itu tipe yang kalau suka sama orang tanpa mandang dia siapa, bagaimana, jin atau manusia, atau tipe yang seneng banget kalau banyak orang yang suka sama kamu.”

“Hah?”

“Jenis manusia yang baik dan benar adalah mereka yang senantiasa memberi. Bersodaqoh. Tanpa meminta imbalan.”

“Hah?”

“Karena Tuhan senantiasa berjanji, barang siapa yang senang memberi. Maka akan dibalasnya dengan sepuluh kali lipat.”

“Hah?”

Aku tidak mengerti apa yang sedang ia bicarakan. Namun Abah, dan Acong mengangguk perlahan. Isarat bahwa apa yang dibicarakan Otong bersangkut paut dengan masalah yang sedang kami bahas. Otong mengambil cangkir kopi. Menyeruputnya cepat.

“Haduh...”

Seisi kamar penasaran.

“Kopi ini nikmat sekali.”

Rasanya aku meminta pendapat dari orang yang salah. Bukan karena dia tidak memberi solusi. Tapi Otong hanya membuat darahku naik.

“Aku gak tau siapa Dila, karena cuma ketemu pas kalian pamitan saja. Apalagi Qory, tidak tahu menahu sedikitpun,”

“Sepertinya malam ini rembulan sedang terang-terangnya, sampai-sampai Diki tidak bersuara meminta jatah.”

Darahku sudah sampai ke ubun-ubun. Apa yang sedang Otong bicarakan. Diki adalah kucing peliharaan teman-temanku disini. Mereka merawatnya bersama. Namun, apa hubungannya dengan keresahanku?

“Diantara Qory dan Dila. Yang kamu berikan suka. Siapa diantara mereka yang membalasmu dengan kasih?”

“Oh... iya...” Aku baru paham dengan maksud pembicaraannya.

“Suka kasih,” Lanjut Otong. Aku kembali kesal.

“Ada bangsa manusia yang memberi suka mereka secara ikhlas. Ada bangsa manusia yang menerimanya dengan rela. Lalu disimpannya. Dikumpulkan.”

“Qory.” Potong Bosang.

Berdua. Diantara daun-daun kuyup. Pohon-pohon rindang. Udara yang sejuk. Hal yang aku janjikan jika Dila datang ke Bandung. Sebuah suasana yang dapat meredam hati. Ini adalah kali pertama Dila menginjakan kakinya di kota kembang. Kota yang orang bilang, membuat betah karena suasananya. Saat Dila asik menikmati suasana Bandung. Aku sedang sibuk membalas pesan dari Qory.

Qory adalah perempuan yang aku suka sejak lama. Hampir dua tahun kami saling kenal, namun hanya sempat bertemu dua kali. Hal itu yang membuatku hanya bisa mengenalnya lebih dalam lewat line. Dan aku pernah bilang hal tersebut pada Dila. Dia acuh saja. Tak peduli pada hubunganku dengan Qory. Karena terlalu asik berbalas pesan dengan Qory membuatku tidak memperhatikan Dila. Sesekali kulihat dia hanya duduk mengayunkan kedua kakinya diatas bangku taman. Sesekali aku melihatnya selfie dengan pemandangan alam. Sesekali aku melihatnya menyeruput kopi sambil melihat ke luar jendela. Sampai Abah dan gebetan barunya datang.

Kami bercerita banyak hal. Tentang hubungan kami berempat. Segalanya terasa normal sampai akhirnya malam datang menyapa. Aku mohon izin untuk melaksanakan shalat magrib.


Saat kembali, dari jauh kulihat wajah Dila murung. Entah apa yang sedang mereka bicarakan. Tapi ada satu hal yang aku sadari. Bahwa Dila tidak pernah memperlihatkan wajah murung didepanku. Aku diam sejenak memperhatikan dari jauh. Tidak menghampiri mereka. Kulihat air mata mulai mengucur dari mata Dila. Kupikir, aku yang seharusnya berada disana, bukan Abah. Aku yang seharusnya menanggung beban yang tengah Dila pikul itu. Aku yang seharusnya menjadi pundak baginya untuk bersandar. Ini adalah murni tentang kebodohanku. Sejak dari siang kami berdua bersama. Aku hanya sibuk pada Qory, bukan Dila. Orang yang sedang dihadapanku. Bukan orang yang ada dalam poto profil. Aku tidak tahu harus melakukan apa sekarang. Aku kembali ke toilet dekat mushala. Kuliat disana diriku yang lain dari balik cermin. Mengutuk diri tentang betapa bodohnya diriku yang tidak pernah mengerti tentang perasaan wanita.
Share:

0 komentar:

Posting Komentar