“Menurut
aku, perasaan kamu ke Qory itu cuma
obsesi Mam. Aku juga pernah rasain hal itu soalnya. Dulu aku suka sama cewek,
ngejar-ngejar dia sampai hatiku bener-bener remuk. Sampai aku sadar bahwa
sebenernya yang aku suka selama itu teh bukan cewek yang aku kejar-kejar. Tapi
ada cewek lain yang perhatian sama aku. Sekarang aku pengennya kembali kemasa
itu dan gak ngulangin hal yang sama.” Jelas Acong.
Fakta
mengatakan bahwa laki-laki akan merasa dirinya ganteng jika sedang melihat
dirinya dibalik cermin. Betapa jelek pun lelaki itu. Aku pun sama. Merapikan
sedikit bagian rambut dan pakaian. Lalu keluar dari toilet menuju kearah Dila
yang sedang duduk memegang smartphoneku.
“Nih
ada line dari Qory.”
Dila
menyodorkan smartphone padaku. Kulihat pesan yang dikirim dari Qory dan
langsung membalasnya. Dila hanya mengamatiku dengan raut kesal. Aku tidak
peduli. Sepertinya Qory memang sedang dalam masalah sehingga membutuhkan
seseorang untuk dijadikan sandarannya. Dan aku selalu bersedia untuk hadir
disana. Aku sudah bilang kepada Dila bahwa selama ini aku sedang mengejar Qory,
berharap fakto x akan datang padaku. Jujur bahwa aku tidak pernah mengerti
masalah ini, bahkan teman-temanku selalu bilang kalau aku begitu bego karena
tidak pernah peka pada perempuan.
“Kenapa
sih kamu sibuk terus sama Qory?”
“Aku
udah bilang kan alasannya sama kamu.”
“Mam,
dengerin deh, aku mau nanya sesuatu sama kamu.”
“Mau
nanya apa Dil?”
“Tapi
kamu matiin dulu hp-nya.”
“Bentar..”
“Yaudah
gak jadi nanya deh...”
“Nanya
apa sih, tanya aja gapapa...”
“Kamu
mau milih aku atau Qory?”
“Hah?”
“Iya
milih aku atau Qory.”
“Ya
aku milih kamu lah,”
“Kamu
yang sekarang ada didepan mataku, jadi untuk saat ini aku milih kamu lah.”
“Yaudah
matiin dulu dong hp-nya...”
“Tapi...”
Seketika
Dila merebut smartphoneku. Nampaknya dia sangat kesal karena aku tidak
memperhatikannya. Suasana disekitar kami berubah drastis. Dingin, bukan karena
gerimis yang tak kunjung berhenti. Tapi karena sikap Dila yang tadinya hangat
dan ramah, berubah menjadi masam. Canda tawa yang sedari tadi menghiasi meja
kami seketika sirna. Obrolan kamipun tak berlangsung lama.
“Mending
kita pulang aja deh.”
Aku
pun meng-iya-kan dan kami langsung pulang ke rumahku. Sesaimpainya di rumah,
Dila langsung menuju ke kamar adikku. Dan aku langsung ke kamarku di lantai
dua. Malam semakin larut dan aku masih saja terjaga. Entah mengapa perasaanku
tidak enak, mungkin karena kejadian di kafe tadi. Tiba-tiba smartphone ku
berdering, kulihat sebuah pesan dari Dila.
“Mam,
headset-ku masih di kamu ya.”
“Iya.”
“Anterin
kesini dong.”
Aku
bernjak dari kasurku. Melangkah ke kamar adikku yang ada di lantai bawah.
Menyerahkan pesanan Dila. Mengobrol sebentar disana. Dila bilang bahwa aku dan
Bandung adalah obat untuknya. Dan nilai tambahnya adalah teman-temanku. Mereka
juga membawa angin segar untuknya. Kedatangan Dila ke Bandung adalah untuk
mengobati hatinya yang tengah remuk dan runtuh. Karena seorang lelaki yang
setahun terakhir dekat dengannya, sampai ke hubungan yang begitu intim_bukan
berhubungan intim. Namun lelaki tersebut kini pergi entah kemana, terpental
jauh saat badai tengan menerpa Dila. Tentang bagaimana kedua orang tuanya harus
bercerai, tentang ibunya yang akhirnya jatuh sakit, tentang dia yang harus
banting tulang untuk membiayai adik-adiknya. Aku bilang lelaki itu terlalu
ringan sehingga mudah dilemparkan badai. Dila tertawa. Sepertinya keadaan kami
kembali normal seperti biasa. Sebelum kedatangan Dila ke Bandung, aku
menawarkan diri untuk menjadi kuli. Membangun kembali hati yang runtuh itu. Dan
teman-temanku juga sekarang menjadi kuli. Dengan lebih banyak kuli tentu akan
semakin cepat membangun bukan? Benar saja, Dila akhirnya tidak lagi memikirkan
lelaki itu. Tapi sekarang, perasaannya telah baralih padaku. Membuatnya menjadi
gelisah. Aku yang harusnya menjadi lelaki penghibur ternyata telah menambah
masalah dalam hidupnya.
Dila
menatapku dalam. Dia ingin meluruskan perasaan apa yang tumbuh diantara kami
berdua. Dia memintaku untuk menciumnya. Aku menciumnya dipipi. Dila sedikit
kesal. Maksudnya adalah menciumnya di bibir bukan di pipi. Aku tersentak, aku
belum pernah mencium bibir orang lain. Aku hanya pernah mencium ubun-ubun Abah
dan rambut gimbal Otong_karena begitu lebat sampai sulit untuk menyentuh
ubun-ubunnya, itu pun dalam rangka bercanda. Dan sekarang aku diminta untuk
mencium seorang perempuan. Dan ini dalam rangka serius. Jantungku langsung
berteriak-teriak. Meminta pertolongan. Tanganku gemetar. Aku adalah tipe orang
yang sulit untuk diajak serius. Jadi ada dua hal yang membuatku lemah malam
ini. Mencium bibir perempuan, dan disuruh untuk serius. Dila menutup matanya.
Berharap akan ada sentuhan di bibirnya. Aku memajukan mulutku. Tidak karuan.
Bagaimana cara melakukannya? Bibir kami semakin dekat. Jantungku berteriak
semakin keras. Kini darahku ikut-ikutan panas. Dila pun semakin gelisah. Lalu
terdengar suara cekikikan. Dila membuka matanya. Didapatinya hidungku yang satu
centimeter lagi menyentuh hidungnya. Dia melihatku tertawa lalu memalingkan
muka. Mulutku benar-benar tidak diajak serius. Dila pun kesal. Kubilang nanti
saja lagi kalau ada kesempatan lain, lalu pergi meninggalkan kamar.
Keesokan
harinya baru aku menyesal karena tidak mencium Dila tadi malam. Mungkin itu
adalah satu-satunya kesempatan untuk mencium seorang perempuan. Sial. Itu
adalah sebuah kemubaziran. Aku beranjak dari kasurku dan pergi ke dapur.
Berharap bahwa ada kehangatan disana saat hujan tengah deras-derasnya.
“Sekarang
bagian kamu Tong!” Pinta Bosang.
Otong
mengambil sebatang rokok. Menyalakan, menghisapnya perlahan. Lalu
memnghembuskannya perlahan pula, mengarahkannya padaku. Aku kesal. Lalu Otong
menarik napasnya dalam-dalam. Semua memperhatikan. Otong memiringkan kepalanya
sambil melihat kearah langit-langit. Hening. Dua puluh detik dihabiskannya
percuma dan membuat seisi ruangan tersebut kesal. Mahir sekali dia membuat
orang lain kesal.
“Jadi...”
Kami
memperhatikan dengan seksama. Otong kembali menghisap rokoknya perlahan. Lalu
menghembuskannya perlahan.
“Anjing.”
Kata Abah.
“Di
alam dunia ini.” Peserta paguyuban semakin kesal karena bahasanya yang begitu
tinggi. Disaat yang sama terasa lucu karena ekspresi seriusnya sambil menatap
kearah langit tanpa memperdulikan keitarnya.
“Ada
dua tipe manusia dalam bab ini. Pertama adalah orang yang mencari-cari. Dan
kedua, adalah orang yang memberi. Kamu masuk kegolongan mana Mam?”
“Gimana
maksudnya?” Tanyaku heran.
“Kamu
itu tipe yang kalau suka sama orang tanpa mandang dia siapa, bagaimana, jin
atau manusia, atau tipe yang seneng banget kalau banyak orang yang suka sama
kamu.”
“Hah?”
“Jenis
manusia yang baik dan benar adalah mereka yang senantiasa memberi. Bersodaqoh.
Tanpa meminta imbalan.”
“Hah?”
“Karena
Tuhan senantiasa berjanji, barang siapa yang senang memberi. Maka akan
dibalasnya dengan sepuluh kali lipat.”
“Hah?”
Aku
tidak mengerti apa yang sedang ia bicarakan. Namun Abah, dan Acong mengangguk
perlahan. Isarat bahwa apa yang dibicarakan Otong bersangkut paut dengan
masalah yang sedang kami bahas. Otong mengambil cangkir kopi. Menyeruputnya
cepat.
“Haduh...”
Seisi
kamar penasaran.
“Kopi
ini nikmat sekali.”
Rasanya
aku meminta pendapat dari orang yang salah. Bukan karena dia tidak memberi
solusi. Tapi Otong hanya membuat darahku naik.
“Aku
gak tau siapa Dila, karena cuma ketemu pas kalian pamitan saja. Apalagi Qory,
tidak tahu menahu sedikitpun,”
“Sepertinya
malam ini rembulan sedang terang-terangnya, sampai-sampai Diki tidak bersuara
meminta jatah.”
Darahku
sudah sampai ke ubun-ubun. Apa yang sedang Otong bicarakan. Diki adalah kucing
peliharaan teman-temanku disini. Mereka merawatnya bersama. Namun, apa
hubungannya dengan keresahanku?
“Diantara
Qory dan Dila. Yang kamu berikan suka. Siapa diantara mereka yang membalasmu
dengan kasih?”
“Oh...
iya...” Aku baru paham dengan maksud pembicaraannya.
“Suka
kasih,” Lanjut Otong. Aku kembali kesal.
“Ada
bangsa manusia yang memberi suka mereka secara ikhlas. Ada bangsa manusia yang
menerimanya dengan rela. Lalu disimpannya. Dikumpulkan.”
“Qory.”
Potong Bosang.
Berdua.
Diantara daun-daun kuyup. Pohon-pohon rindang. Udara yang sejuk. Hal yang aku
janjikan jika Dila datang ke Bandung. Sebuah suasana yang dapat meredam hati.
Ini adalah kali pertama Dila menginjakan kakinya di kota kembang. Kota yang
orang bilang, membuat betah karena suasananya. Saat Dila asik menikmati suasana
Bandung. Aku sedang sibuk membalas pesan dari Qory.
Qory
adalah perempuan yang aku suka sejak lama. Hampir dua tahun kami saling kenal,
namun hanya sempat bertemu dua kali. Hal itu yang membuatku hanya bisa
mengenalnya lebih dalam lewat line. Dan aku pernah bilang hal tersebut pada
Dila. Dia acuh saja. Tak peduli pada hubunganku dengan Qory. Karena terlalu
asik berbalas pesan dengan Qory membuatku tidak memperhatikan Dila. Sesekali
kulihat dia hanya duduk mengayunkan kedua kakinya diatas bangku taman. Sesekali
aku melihatnya selfie dengan pemandangan alam. Sesekali aku melihatnya
menyeruput kopi sambil melihat ke luar jendela. Sampai Abah dan gebetan barunya
datang.
Kami
bercerita banyak hal. Tentang hubungan kami berempat. Segalanya terasa normal
sampai akhirnya malam datang menyapa. Aku mohon izin untuk melaksanakan shalat
magrib.
Saat
kembali, dari jauh kulihat wajah Dila murung. Entah apa yang sedang mereka
bicarakan. Tapi ada satu hal yang aku sadari. Bahwa Dila tidak pernah
memperlihatkan wajah murung didepanku. Aku diam sejenak memperhatikan dari
jauh. Tidak menghampiri mereka. Kulihat air mata mulai mengucur dari mata Dila.
Kupikir, aku yang seharusnya berada disana, bukan Abah. Aku yang seharusnya
menanggung beban yang tengah Dila pikul itu. Aku yang seharusnya menjadi pundak
baginya untuk bersandar. Ini adalah murni tentang kebodohanku. Sejak dari siang
kami berdua bersama. Aku hanya sibuk pada Qory, bukan Dila. Orang yang sedang dihadapanku.
Bukan orang yang ada dalam poto profil. Aku tidak tahu harus melakukan apa
sekarang. Aku kembali ke toilet dekat mushala. Kuliat disana diriku yang lain
dari balik cermin. Mengutuk diri tentang betapa bodohnya diriku yang tidak
pernah mengerti tentang perasaan wanita.
0 komentar:
Posting Komentar