“Qory
itu menurutku tipe cewek yang suka kalo ada orang liatin dia, merhatiin dia,
peduli sama dia, tapi kurang kalau dari satu cowok. Kamu kalo chat sama dia,
dia pernah ga nanya-nanya tentang kamu?” tanya Bosang.
“Gak
pernah.”
“Dua
tahun gak pernah?”
Aku
menggelengkan kepala.
“Paling
dia curhat tentang masalah dia, pekerjaan dia, kehidupan dia...”
“Dia
itu egois mam...” potong Acong.
“menurut
kamu gimana Mok?”
“pas...”
jawab Momok singkat.
“Dila
bilang sama aku kalau dia datang ke Bandung buat menghibur diri. Tapi apa yang
dia dapat di Bandung ternyata beda dengan apa yang dia mau.” Lanjut Abah.
“Maksudnya?”
tanyaku.
“Dia
selama di Bandung jadi suka sama kamu Mam. Bukan kamu aja yang punya rasa sama
dia. Kamu bilang kan kalau disuruh milih, kamu milih Dila. Tapi kelakuan kamu
ngasih kesan bahwa kamu milih Qory. Itu yang diceritain Dila sambil nangis di
kamar aku. Dia juga bilang, dia gak mau merusak hubunganmu dengan Qory. Dia gak
bilang suka sama kamu karena gak mau menambah beban. Karena dia tahu kamu
sedang banyak masalah. Tapi, sekarang liat. Dia gak bilang pun kamu bingung
kan? Resah? Ngerjain tugas akhir gak beres-beres. Malah kepikiran masalah itu.”
“Kehidupan
memang sulit untuk kita cerna sendiri.” Jelas Otong.
“Makanya
aku bingung Bah,”
“Aku
gak tahu, suka apa enggak sama Dila.”
Otong
menepuk pundakku, bicara perlahan, “Goblok.”
“Aku
liat pas kamu ngenalin Dila sama aku, kamu lebih lepas dari biasanya Mam.
Senyum kamu itu tulus.” Balas Bosang.
Aku
semakin bingung dengan perasaanku pada Dila. Pertemuan kami yang singkat itu
telah meninggalkan kesan untukku. Tapi apa yang dibicarakan oleh teman-temanku
membuatku sadar. Mungkin aku seharusnya tidak mengejar Qory yang tak pasti
ujungnya. Seakan mereka menyuruhku untuk memilih Dila. Namun tidak memaksaku.
Karna semua keputusan ada padaku sendiri.
Setelah
setahun saling mengenal lewat aplikasi pencari jodoh, pertemuanku pertamaku
dengan Dila di stasiun kota. Wajahnya yang imut denga rambut poni sealis.
Senyum simpulnya yang terasa manis. Tawanya yang menghapus beban kepalaku.
Sikapnya yang hangat ditengah dingin musim penghujan. Bahkan tidak sampai lima
menit ia sudah akrab dengan keluargaku. Begitu bodohnya aku mengacuhkan semua
itu. Sampai malam ini, setelah ia pulang ke Depok baru membuatku sadar. Mungkin
ini yang mereka sebut faktor x itu. Yang selama ini mengacaukan perasaanku.
Karna memang sulit untuk dijelaskan dengan kata-kata. Namun terus saja mentap
dalam kepalaku. Sampai paguyuban ini selesai. Ada penyesalan yang masih
tertinggal. Karena mungkin, aku telah melepas kepergian Dila dengan menaruh
luka dihatinya.
Sampai
pada hari wisudaku tiba. Akhirnya aku bertemu lagi dengan Dila. Aku sengaja
mengundangnya untuk datang. Dan dia bersedia. Setelah melakukan adat perayaan
di kampus. Berpamitan dengan orang tuaku. Aku dan teman-teman penghuni kosan
burung pergi ke sebuah kafe untuk merayakan hari ini. Semuanya lengkap hadir
dengan membawa pasangannya masing-masing, dan Dila. Kecuali Otong dan Acong.
Mereka adalah gambaran dari kebebasan tanpa ikatan dengan sesuatu yang disebut
pasangan. Sore itu segalanya berlangsung dengan meriah. Tawa yang menghiasi meja
kami. Kelakuan konyol Otong yang semakin menjadi-jadi karena sebentar lagi kami
akan berpisah dan menjalani kehidupan masing-masing.
Saat
magrib tiba. Dila mohon izin untuk berpamitan. Ia tidak bisa menginap lagi
seperti kedatangannya sebelumnya. Aku pun mengantarnya sampai ke stasiun.
“Dil,
aku mau ngomong sesuatu sama kamu sebelum kamu pulang.”
“Ngomong
apa Mam?”
“Aku
mau minta maaf soal waktu itu.”
“Iya
kok, aku juga ngerti. Temen-temen kamu juga bilang kalau kamu orangnya gak
peka.”
“Hehe...
tapi sekarang aku sadar. Perasaan yang selama ini aku ingin rasakan ternyata
selalu ada dihatiku. Hanya saja aku tidak peduli.”
“Selamat
ya.” Dila tesenyum dan menepuk pundakku.
“Dan
perasaan muncul saat kalau ada kamu.”
“Kamu
bicara apa sih, aku gak ngerti...”
“Iya...
intinya... aku... aku... ya... aku suka sama kamu Dil.”
“Jadi
kamu teh nembak aku? Hihihi,
“Tapi
aku gak bisa Mam.”
“Kenapa?”
“Aku
takut kamu masih sama kayak dulu. Kamu sebenernya masih suka sama Qory kan?”
“Enggak
kok Dil. Beneran.”
“Apa
buktinya?”
“Bukti?
Ya... aku gak bisa buktiin sekarang. Tapi aku bisa pastikan, kalau cuma kamu
perempuan yang ada di hati aku.”
“Mending
kamu buktiin dulu. Kamu cari perempuan yang lebih baik dari aku. Kamu buktiin
kalau kamu gak akan berpaling dari dia, kamu mau menerima kekurangan dia, kamu
akan selalu ada untuk dia.
“Kamu
liatin seberapa sukanya kamu sama dia. Sampai kamu gak akan biarin dia pergi.
Kamu liatin bukti itu ke aku. Nanti aku bakal ikut bahagia untuk hubungan
kalian berdua.”
Aku
hanya terdiam mendengar perkataan Dila. Sampai akhirnya dia masuk kedalam
kereta, melambaikan tangan sambil tersenyum. Tak terasa kereta pun meluncur
meninggalkan stasiun. Kini yang kulihat hanyalah kekosongan di depan mataku.
0 komentar:
Posting Komentar