Kandas #3

“Qory itu menurutku tipe cewek yang suka kalo ada orang liatin dia, merhatiin dia, peduli sama dia, tapi kurang kalau dari satu cowok. Kamu kalo chat sama dia, dia pernah ga nanya-nanya tentang kamu?” tanya Bosang.

“Gak pernah.”

“Dua tahun gak pernah?”

Aku menggelengkan kepala.

“Paling dia curhat tentang masalah dia, pekerjaan dia, kehidupan dia...”

“Dia itu egois mam...” potong Acong.

“menurut kamu gimana Mok?”

“pas...” jawab Momok singkat.

“Dila bilang sama aku kalau dia datang ke Bandung buat menghibur diri. Tapi apa yang dia dapat di Bandung ternyata beda dengan apa yang dia mau.” Lanjut Abah.

“Maksudnya?” tanyaku.

“Dia selama di Bandung jadi suka sama kamu Mam. Bukan kamu aja yang punya rasa sama dia. Kamu bilang kan kalau disuruh milih, kamu milih Dila. Tapi kelakuan kamu ngasih kesan bahwa kamu milih Qory. Itu yang diceritain Dila sambil nangis di kamar aku. Dia juga bilang, dia gak mau merusak hubunganmu dengan Qory. Dia gak bilang suka sama kamu karena gak mau menambah beban. Karena dia tahu kamu sedang banyak masalah. Tapi, sekarang liat. Dia gak bilang pun kamu bingung kan? Resah? Ngerjain tugas akhir gak beres-beres. Malah kepikiran masalah itu.”

“Kehidupan memang sulit untuk kita cerna sendiri.” Jelas Otong.

“Makanya aku bingung Bah,”

“Aku gak tahu, suka apa enggak sama Dila.”

Otong menepuk pundakku, bicara perlahan, “Goblok.”

“Aku liat pas kamu ngenalin Dila sama aku, kamu lebih lepas dari biasanya Mam. Senyum kamu itu tulus.” Balas Bosang.

Aku semakin bingung dengan perasaanku pada Dila. Pertemuan kami yang singkat itu telah meninggalkan kesan untukku. Tapi apa yang dibicarakan oleh teman-temanku membuatku sadar. Mungkin aku seharusnya tidak mengejar Qory yang tak pasti ujungnya. Seakan mereka menyuruhku untuk memilih Dila. Namun tidak memaksaku. Karna semua keputusan ada padaku sendiri.

Setelah setahun saling mengenal lewat aplikasi pencari jodoh, pertemuanku pertamaku dengan Dila di stasiun kota. Wajahnya yang imut denga rambut poni sealis. Senyum simpulnya yang terasa manis. Tawanya yang menghapus beban kepalaku. Sikapnya yang hangat ditengah dingin musim penghujan. Bahkan tidak sampai lima menit ia sudah akrab dengan keluargaku. Begitu bodohnya aku mengacuhkan semua itu. Sampai malam ini, setelah ia pulang ke Depok baru membuatku sadar. Mungkin ini yang mereka sebut faktor x itu. Yang selama ini mengacaukan perasaanku. Karna memang sulit untuk dijelaskan dengan kata-kata. Namun terus saja mentap dalam kepalaku. Sampai paguyuban ini selesai. Ada penyesalan yang masih tertinggal. Karena mungkin, aku telah melepas kepergian Dila dengan menaruh luka dihatinya.

Sampai pada hari wisudaku tiba. Akhirnya aku bertemu lagi dengan Dila. Aku sengaja mengundangnya untuk datang. Dan dia bersedia. Setelah melakukan adat perayaan di kampus. Berpamitan dengan orang tuaku. Aku dan teman-teman penghuni kosan burung pergi ke sebuah kafe untuk merayakan hari ini. Semuanya lengkap hadir dengan membawa pasangannya masing-masing, dan Dila. Kecuali Otong dan Acong. Mereka adalah gambaran dari kebebasan tanpa ikatan dengan sesuatu yang disebut pasangan. Sore itu segalanya berlangsung dengan meriah. Tawa yang menghiasi meja kami. Kelakuan konyol Otong yang semakin menjadi-jadi karena sebentar lagi kami akan berpisah dan menjalani kehidupan masing-masing.

Saat magrib tiba. Dila mohon izin untuk berpamitan. Ia tidak bisa menginap lagi seperti kedatangannya sebelumnya. Aku pun mengantarnya sampai ke stasiun.

“Dil, aku mau ngomong sesuatu sama kamu sebelum kamu pulang.”

“Ngomong apa Mam?”

“Aku mau minta maaf soal waktu itu.”

“Iya kok, aku juga ngerti. Temen-temen kamu juga bilang kalau kamu orangnya gak peka.”

“Hehe... tapi sekarang aku sadar. Perasaan yang selama ini aku ingin rasakan ternyata selalu ada dihatiku. Hanya saja aku tidak peduli.”

“Selamat ya.” Dila tesenyum dan menepuk pundakku.
“Dan perasaan muncul saat kalau ada kamu.”

“Kamu bicara apa sih, aku gak ngerti...”

“Iya... intinya... aku... aku... ya... aku suka sama kamu Dil.”

“Jadi kamu teh nembak aku? Hihihi,

“Tapi aku gak bisa Mam.”

“Kenapa?”

“Aku takut kamu masih sama kayak dulu. Kamu sebenernya masih suka sama Qory kan?”

“Enggak kok Dil. Beneran.”

“Apa buktinya?”

“Bukti? Ya... aku gak bisa buktiin sekarang. Tapi aku bisa pastikan, kalau cuma kamu perempuan yang ada di hati aku.”

“Mending kamu buktiin dulu. Kamu cari perempuan yang lebih baik dari aku. Kamu buktiin kalau kamu gak akan berpaling dari dia, kamu mau menerima kekurangan dia, kamu akan selalu ada untuk dia.

“Kamu liatin seberapa sukanya kamu sama dia. Sampai kamu gak akan biarin dia pergi. Kamu liatin bukti itu ke aku. Nanti aku bakal ikut bahagia untuk hubungan kalian berdua.”


Aku hanya terdiam mendengar perkataan Dila. Sampai akhirnya dia masuk kedalam kereta, melambaikan tangan sambil tersenyum. Tak terasa kereta pun meluncur meninggalkan stasiun. Kini yang kulihat hanyalah kekosongan di depan mataku.
Share:

0 komentar:

Posting Komentar